KATA ORANG DULU

PANTAH TUMBUH HILANG BERGANTI.

KATA PUISI

SENYUM ITU INDAH, TERSENYUM DENGAN SEMUA YANG ADA .

KATA GURUKU

PENGALAMAN ADALAH GURU YANG TERBAIK.

KATANYA

MENCOBA ITU TIDAK ADA SALAHNYA.

KATA ORANG INGGRIS

WAKTU ADALAH UANG

Rabu, 07 Agustus 2013

SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI


Sabtu, 23 Maret 2013

EKSPLORASI




Rabu, 20 Februari 2013

BATUBARA BUNGO









Senin, 24 Desember 2012

2007

DPELH
Jl. Pangeran Diponegoro No. 17 Telp 0747-21029
MUARA BUNGO

Nomor : 545/ / DPELH Kepada.Yth
Sipat : Biasa Sdr. Kepala Pelabuhan Bako Talang Duku
Lampiran : - Di _
Perihal : Surat Keterangan Asal Barang JAMBI
Dengan Hormat,
Berdasarkan surat permohonan PT. Titan Mining Indonesia Nomor 001/ DIR-00-01/ TMI/ IIDI/ 08 tanggal perihal Permohonan Surat Keterangan Asal Barang PT. Titan Mining Indonesia, sehubungan dengan perihal tersebut dapat kami terangkan sebagai berikut :
1. Bahwa batubara berasal dari dalam wilayah PKP2B PT. Nusantara Termal Coal ( PT. NTC ) wilayah Kecamatan Rantau Pandan Kabupaten Bungo , akan melakukan penjualan batubara kepada PT. Nusantara Indah Lestari ( Jakarta-Indonesia) sebanyak 3.000 MT.
2. Bahwa batubara yang diangkut melalui Pelabuhan Bako Talang Duku Jambi dengan tujuan Pelabuhan Ciwahdan Jakarta benar berasal dari Kabupaten Bungo.
3. Hal-hal yang berkaitan dengan pengangkutan sebagai berikut :
- Nama Tugboat : SABANG 31
- Barge : Abadi Sakti V Eks Sabang Marindo XVI
- Muatan : Batubara
- Tonase : 3.000 MT Toleransi + 10 %
- Tujuan : PELABUHAN CIWAHDAN
- Alamat Pembeli : PT. NUSANTARA INDAH LESTARI
Plaza BII Menara 2 Lt.7 Jl. MH Thamrin No. 51
Jakarta Pusat. - Indonesia.
4. Berkenan dengan hal tersebut, Pemerintah Kabupaten Bungo dapat memberikan Surat Keterangan Asal Barang kepada PT. Titan Mining Indonesia untuk 1 (satu) kali pengapalan.
Demikian Surat Keterangan Asal Barang ini diberikan untuk dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.

Rabu, 18 April 2012

BOR BATUBARA

POWERIG

JACRO KOKEN

JACRO

Jumat, 18 Maret 2011

Pengkajian cekungan batubara di daerah Bayung Lincir, Kabupaten Musi Banyuasin

Penyelidikan terletak di Kec. Sungaililin dan Kec Bayung Lincir pada peta topografi Bakosurtanal Lembar 1013-51 skala 1:50.000, dengan batas koordinat 103o45’00” - 104o00’00” Bujur Timur dan 2o15’00’ - 2o30’00” Lintang Selatan.
Secara geologi terletak di cekungan Sumatera Selatan di bagian utara Palembang dalam antiklinorium Tamiang dan Bentayan. Formasi Muara Enim merupakan formasi pembawa batubara yang diendapkan sebagai kelanjutan dari fase regresi, berumur Miosen Akhir - Pliosen Awal. Lingkungan pengendapan batubara terjadi dari sedimentasi kumpulan perulangan endapan delta sampai fluviatil pada akhir pengendapan batubara.
Hasil dari pemetaan batubara dan korelasi dari pemboran sebanyak 18 titik pemboran telah didapatkan 10 lapisan batubara mulai dari Anggota M1 sampai M4, dengan penyebaran yang cukup luas pada sayap utara dari antiklin Tamiang. Sumberdaya batubara hasil perhitungan dengan ketebalan >1.0 meter dengan kedalaman sampai 50.0 meter dan panjang terluar dari singkapan atau lubang bor 1000 meter; total sumberdaya batubara sebesar 116 juta ton.
Kisaran kualitas batubara di daerah ini adalah : Moisture (adb) 13.2 - 18.6 %, Volatile Matter (adb) 38.2 - 45.4; Ash Content (adb) 3.4 - 22.5%; Total Sulphur (adb) 0.21 - 2.21%; Specific Gravity 1.39 - 1.54; Calorific Value (adb) 4040 - 5505 kkal/kg, atau 4844 – 7656 kal/kg (daf).

PENDAHULUAN
Daerah Bayung Lincir secara administratif 20% di bagian selatan masuk wilayah hukum Kecamatan Sungai Lilin dan 80% di bagian utara masuk wilayah hukum Kecamatan Bayung Lincir, Kabupaten Musi Banyuasin, Propinsi Sumatra, seluas K 75.000 ha (Lembar Peta 1013-51). Secara geografis dibatasi oleh koordinat 103o 45’ 00” - 104o 00’ 00” Bujur Timur dan 2o15’00” - 2o30’00” Lintang Selatan; terletak di kiri-kanan jalan lintas timur Palembang - Jambi mulai km 118 - km 142 dengan infra struktur cukup baik (Gambar 7-.1).
Tataguna tanah sebagian besar daerah penyelidikan merupakan kebun plasma kelapa sawit (PT. HINDOLI, PT. SMJ, PT. LONSUM), perkebunan karet rakyat, kebun dan ladang serta kawasan hutan lindung; sebagian kecil dipakai sebagai jalur pipa minyak dan gas areal kerja PT. GULF ex. PT ASAMERA.
Tujuan penyelidikan ini adalah untuk mengetahui keadaan geologi khususnya yang berhubungan dengan kejadian lingkungan pengendapan batubara, penyebaran, ketebalan dan jumlah lapisan; yang akhirnya dapat melengkapi data kajian cekungan Sumatera Selatan, sehingga dapat dibuat data base yang mudah di akses untuk kebijaksanaan yang lebih lanjut.
1. GEOLOGI REGIONAL
Morfologi daerah ini terdiri dari dua satuan yaitu Satuan Morfologi Perbukitan Bergelombang Rendah, kemiringan lereng 10o-25o dengan elevasi dari 5 m dpl sampai 75m dpl luas hampir 90%, disusun oleh satuan Batuan Tersier klastika halus terdiri dari Formasi Air Benakat, Muara Enim dan Kasai. Satuan Morfologi Pedataran dengan elevasi kurang dari 5 m dpl terdiri dari batuan rombakan formasi diatas dan endapan limpah banjir yang menempati sepanjang aliran Sungai Tungkal.
Secara tektonik daerah penyelidikan merupakan jalur belakang daratan (“back deep”), terletak pada Cekungan Sumatra Selatan di bagian utara Palembang. Di lapangan pada lembar ini terdapat jalur lipatan dengan dua antiklinorium yang dikenal dengan Antiklin Tamiang, terletak di bagian selatan lembar terpotong oleh dua sesar geser dan satu sesar normal; di utara dikenal dengan Antiklin Bentayan terpotong oleh tiga sesar geser. Arah umum sumbu antiklin adalah Baratlaut- Tenggara.
Stratigrafi daerah penyelidikan mencakup tiga formasi, dari tua ke muda, yaitu Formasi Air Benakat, Muara Enim, Kasai serta endapan Aluvial (Tabel 7-1). Ketiga formasi sebagai penyusun batuan di wilayah ini tersebar merata dalam sistem lipatan Antiklinorium Tamiang dan Antiklinorium Bentayan.
Formasi Air Benakat tersingkap di sepanjang sumbu Antiklin Tamiang dan Antiklin Bentayan dengan lebar singkapan 3,00 - 5,00 km, umumnya mempunyai dip yang landai 4o-12o. Formasi ini diendapkan pada awal fase regresi, terdiri dari perselingan batulempung dengan batupasir, batulanau, umumnya mengandung glaukonit dan bersifat endapan laut berumur Miosen Tengah; di lapangan pada formasi ini tidak dijumpai batubara.
Formasi Muara Enim merupakan formasi pembawa batubara, tersingkap sangat luas pada kedua sayap antiklin. Pada formasi ini dijumpai cukup banyak singkapan batubara yang dapat dikelompokkan menjadi empat anggota pembawa batubara (Shell, 1978), yaitu Anggota M1, M2, M3 dan M4.
Kemiringan dip pada sayap selatan Antiklin Tamiang berkisar 8o - 12o dengan jurus utara timur 110o - 140o sedangkan dip pada sayap utara umumnya lebih landai berkisar 5o - 9o dengan jurus utara timur 275o - 320o. Pada sayap selatan Antiklin Bentayan, dip nya lebih curam, yaitu 22o - 40o dengan jurus utara-timur 102o - 130o. Formasi ini diendapkan sebagai kelanjutan dari fase regresi, terdiri dari perselingan batupasir dengan batulumpur dan sedikit batulempung, batulanau dan batubara, berumur Miosen Akhir - Pliosen Awal dengan lingkungan pengendapan transisi.
Formasi Kasai merupakan formasi yang muda berumur Pliosen Akhir, batuannya tersingkap di sepanjang sumbu sinklin menyebar cukup luas terutama pada daerah tengah lembar; diendapkan pada fase akhir regresi di Cekungan Sumatra Selatan. Formasi ini terdiri dari batulempung, batupasir, konglomerat yang banyak mengandung material volkanik; di lapangan tidak dijumpai singkapan batubara.
Endapan Aluvium merupakan hasil endapan rombakan batuan yang dapat diikuti sepanjang tepi sungai utama dan daerah limpah banjir, yaitu pada aliran Sungai Tungkal menempati daerah tengah lembar dan sedikit di bagian barat, yaitu pada aliran Sungai Sukakarangan.
2. GEOLOGI DAERAH PENYELIDIKAN
Sedimentasi batubara yang ada diwilayah penyelidikan dimulai dari kumpulan Facies Deltaic sampai Fluviatil pada Cekungan Sumatra Selatan yang berumur Miosen Tengah hingga Pliosen.
Batubara pada anggota M1, yaitu Lapisan Kladi dan Lapisan Merapi masih jelas dipengaruhi oleh pengaruh laut yang dicirikan oleh pasir gloukonitan.
Diatas lapisan Merapi terjadi pengendapan dominan pasiran yang mengkasar keatas seperti dicirikan oleh bor BBL5, BBL6 dan BBL8 fasies ini menunjukan terjadinya prograding endapan delta yang diakhiri terjadinya endapan rawa. Pada fasa ini terjadi proses pengendapan batubara yang berlangsung terus yaitu pada Anggota M2 dengan endapan batubara dimulai dari Lapisan Petai yang tipis dan tidak menerus, kemudian diendapkan lapisan Suban serta Lapisan Mangus Di daerah tengah penyelidikan terlihat pengendapan berjalan kontinu dengan didapatkan batubara yang lebih tebal; kemudian kearah tepi cekungan batubara cenderung menipis seperti terlihat pada bor BBL9 dan Bor BBL 15 di selatan dan utara. Sedangkan ke arah timur dan barat batubara terjadi spliting dengan terjadinya perubahan arus. Rawa-rawa yang ada pada fasa ini cenderung masih berhubungan dengan laut dangkal ini didukung oleh adanya hasil analisa kualitas batubara bahwa nilai sulphur total yang tinggi yaitu antara 1.07 % - 2.21 % pada Lapisan Suban dan Lapisan Mangus.
Kearah atas yaitu pada Anggota M3 terjadi perubahan susunan batuan yaitu batupasir cenderung menghalus keatas dan diendapkan batubara pada rawa-rawa yang sudah dipengaruhi daratan yaitu pada Lapisan Burung dan Lapisan Benuang.
Pada fasa ini pengaruh endapan sungai yaitu fluviatil dapat dikatakan cukup dominan, sedangkan adanya kecenderungan tersebut dapat dilihat dari nilai total sulphur yang jadi menurun yaitu antara 0.21 - 0.87%, demikian proses fluviatil ini terus berlangsung ke atas sampai diendapkan anggota M4 yaitu lapisan Kebon, lapisan Babat dan lapisan Lower Lematang.
Dapat disimpulkan bahwa lingkungan pengendapan batubara didaerah penyelidikan ini terjadi pada fasa fluvial deltaic
3. POTENSI ENDAPAN BATUBARA
Dari pemetaan singkapan batuan dan khususnya batubara telah dijumpai sebanyak 72 lokasi singkapan batubara. Pada antiklin Tamiang batubara dapat dijumpai pada kedua sayap namun pada sayap utara dari seri anggota M1 sampai M4 lebih banyak tersingkap, sedangkan pada sayap selatan antiklin Bentayan batubara hanya dijumpai pada anggota M2 dengan kemiringan dip yang lebih curam.
Sejalan dengan pemetaan geologi, pada daerah indikasi lapisan batubara yang telah dipetakan dilakukan pemboran inti dengan tujuan untuk mengetahui stratigrafi tegak dan tebal batubara dan berapa lapisan batubara yang ada sehingga hubungan antar lubang bor dapat direkonstruksi untuk geometri daerah penyelidikan, terutama hubungan lapisan batubara yang tidak tersingkap dipermukaan.
Berdasarkan singkapan yang dipetakan, telah dilaksanakan pemboran batubara sebanyak 18 titik lubang bor, dengan kedalaman rata-rata 50.00 meter ; total kedalaman seluruhnya 900 meter (Gambar 7- 2) dan daerah ini terdapat 2 titik lubang bor Shel (TG001, TG002).
Distribusi lubang bor di daerah selidikan adalah :
• 7 buah lubang bor (BBL1, BBL2, BBL3, BBL4, BBL5, BBL6, BBL8) ditempatkan pada daerah yang dipetakan topografi dan menembus lapisan pembawa batubara Anggota M2 pada sayap utara antiklin Tamiang.
• 1 buah lubang bor (BBL9) ditempatkan di bagian selatan antiklin Tamiang menembus sebagian Anggota M2
• 3 buah lubang bor (BBL7, BBL10, BBL17) menembus pembawa batubara Anggota M3 di sayap utara antiklin Tamiang
• 5 buah lubang bor (BBL11, BBL12, BBL13, BBL14 dan BBL18) menembus pembawa batubara Anggota M4 di sayap utara Antiklin Tamiang
• 2 buah lubang bor (BBL15 dan BBL16) menembus pembawa batubara sebagian anggota M2 di sayap selatan Antiklin Bentayan.
Dari korelasi penampang lubang bor (Gambar
7-3 dan Gambar 7-4), dapat diketahui terdapat 10 lapisan batubara, yaitu :
Lapisan Kelad; kemiringan 6o - 9o. Batubara berwarna hitam kecoklatan, kusam sebagian berlapis rapuh - getas mengotori tangan, ketebalan adalah 0.90m - 1.40 m.
Lapisan Merapi; kemiringan 5o. Batubara berwarna hitam kecoklatan, kusam sebagian berlapis rapuh - getas mengotori tangan, ketebalan adalah 1.40 - 1.50 m.
Lapisan Petai; ketebalan 0.60 - 1.00 m.
Lapisan Suban; terletak diatas lapisan Petai dengan interburden lebih besar 2.00 meter, tebal batubara antara 1.00 - 5.40 m, kemiringan dip 5o dan sebarannya sepanjang 13,5 km; dibagian timur ketebalan 5.40 m menipis ke arah barat.
Lapisan Mangus; ketebalan 1.05 - 7.55 m dengan panjang sebaran 13.5 km dan kemiringan 5o - 8o
Lapisan Burung; tebal batubara antara 1.15 - 2.70 m, panjang sebaran > 20.0 km dan kemiringan 5o - 8o.
Lapisan Benuang; tebal batubara 1,20 - 4.90 m, panjang sebaran 15.0 km dan kemiringan 5o - 8o.
Lapisan Kebon; ketebalan batubara 0.80 m, kemiringan 8o, panjang singkapan di bagian timur 8.0 km dan di sebelah barat 7.0 km.
Lapisan Babat; ketebalan antara 0.95 - 2.90 m, kemiringan 5o, panjang singkapan di bagian timur 8.0 km dan di sebelah barat 7.0 km. Ketebalan interburden antara 2.00 - >5.00 m.
Lapisan Lematang; ketebalan antara 0.20 - 0.60 m dan kemiringan 5o.
5. KUALITAS BATUBARA
Dari 10 lapisan batubara, hanya 5 lapisan yang dialakukan analisa yaitu :
Lapisan Suban :
Kisaran kualitas sebagai berikut ; Free Moisture 26,9 - 42,6 %; Total Moisture 38,6 - 50,6% ( As Received); Inherent Moisture 15,2 - 18,6%, Volatile Matter 38,2 - 45,4%; Fix Carbon 32,5 - 35,6%; ash Content 5,1 - 9.2%; Total Sulphur 0,35 - 2,07%, Specific Gravity 1.37 - 1.41; dan Calorific Value 4900 - 5395 kcal/kg (Air dried basis), termasuk klas Subbituminous, Group Subbituminous A Coal.
Lapisan Mangus :
Kisaran kualitas sebagai berikut ; Free Moisture 29,1 - 45,0 %; Total Moisture 43,0 - 51.7% ( As Received); Inherent Moisture 14.0 - 18,6%, Volatile Matter 38,2 - 45,9%; Fix Carbon 26.0 - 35,9%; ash Content 5,6 - 12.9%; Total Sulphur 0,28 - 2,21%, Specific Gravity 1.36 - 1.51; dan Calorific Value 4040 - 5275 kcal/kg (Air dried basis), termasuk klas Subbituminous, Group Subbituminous B Coal hingga Subbituminous A Coal.
Lapisan Burung :
Kisaran kualitas sebagai berikut ; Free Moisture 29.0 - 42,0 %; Total Moisture 41.4 - 50,1% ( As Received); Inherent Moisture 15,3 - 16.7%, Volatile Matter 44.0 - 45,1%; Fix Carbon 31.0 - 34.5%; Ash Content 3.7 - 10.2%; Total Sulphur 0,.23- 0.87%, Specific Gravity 1.36 - 1.41; dan Calorific Value 5110 - 5335 kcal/kg (Air dried basis), termasuk Klass subbituminous, Group Subbituminous A Coal.
Lapisan Benuang :
Kisaran kualitas sebagai berikut ; Free Moisture 33.5 - 35.9 %; Total Moisture 43.6 - 43.7% ( As Received); Inherent Moisture 13.8 - 16.3%, Volatile Matter 39.9 - 45,1%; Fix Carbon 29.2 - 34.4%; Ash Content 4.3 - 17.1%; Total Sulphur 0.21- 0.34%, Specific Gravity 1.37 - 1.49; dan Calorific Value 4450 - 5245 kcal/kg (Air dried basis), termasuk klass Subbituminous, Group Subbituminous B Coal.
Lapisan Babat :
Kisaran kualitas sebagai berikut ; Free Moisture 35.1 - 51.1 %; Total Moisture 44.8 - 57.0 % ( As Received); Inherent Moisture 13.2 - 14.6%, Volatile Matter 39.6 - 47.3%; Fix Carbon 24.0 - 36.1%; Ash Content 3.4 - 17.4%; Total Sulphur 0.23- 0.62%, Specific Gravity 1.39 - 1.46; dan Calorific Value 4265 - 4660 kcal/kg (Air dried basis), termasuk klass Subbitumnous, Group Subbitumnous B Coal.
6. SUMBERDAYA BATUBARA
Perhitungan sumberdaya batubara dihitung sampai kedalaman 50.00 meter untuk masing masing lapisan yang mempunyai ketebalan lebih besar 1.00 meter, dengan jarak terjauh dari singkapan yang ada atau data bor terakhir sejauh 1000 meter. Total sumberdaya batubara seluruhnya adalah 116.251.846 ton.
7. PROSPEK PENGEMBANGAN BATUBARA
Prospek pengembangan batubara di daerah penyelidikan dapat ditinjau dari infrastruktur, penyebaran batubara, ketabalan dan kualitas batubara. Dengan melihat kondisi tersebut, maka daerah yang cukup prospek untuk dikembangkan lebih lanjut adalah Lapisan M – M4 dan Mangus dengan ketebalan 1,05 – 7,55 meter.
Daerah ini telah dilakukan pemetaan topografi dengan skala 1 ; 10.000, seluas 2.000 ha.
8. KESIMPULAN
Lingkungan pengendapan batubara dari hasil korelasi lubang bor dan analisa kimia batubara, menunjukkan kumpulan hasil perulangan pengendapan delta dan fluviatil pada akhir pengendapan batubara.
Endapan batubara di daerah Bayung Lincir (Lembar Peta 1013-51) yang paling prospek adalah terletak di sayap utara dari antiklin Tamiang, dengan sudut kemiringan lapisan dip 8o - 12o dan arah jurus utara timur 2750o - 320o. Lapisan Mangus, namun lapisan tersebut mengalami splitting dan cenderung menipis dalam pelamparannya.
Hasil analisis kualitas batubara menunjukkan mutu batubara Klass Subbituminous, Group Subbituminous B Coal sampai Subbituminous A Coal.
Sumberdaya batubara sampai kedalaman 50.0 meter untuk masing masing lapisan dengan daerah pengaruh terluar dari singkapan atau lubang bor 1000 meter adalah total seluruhnya 116 juta ton.

Penelitian Potensi Bahan Galian Untuk Pertambangan Sekala Kecil Daerah Kotabunan Kabupaten Bolaang Mongondow Timur Provinsi Sulawesi Utara

Daerah Penelitian terletak di Kecamatan Kotabunan, Kabupaten Bolaang Mongondow Timur, Provinsi Sulawesi Utara, diantaranya yaitu di Bukit Panang, Bukit Tungau, Molobog dan Matabulu. Para penyelidik terdahulu telah menemukan bahan galian emas. Terutama untuk lokasi Bukit Panang terletak diantara KP PT Avocet dan PT Aneka tambang, dimana di wilayah tersebut terdapat penambang lokal yang masih aktif hingga saat ini.

Geologi daerah Bukit Panang hingga Benteng terdiri dari batuan vulkanik bersifat andesitik, dengan mineral hornblende yang cukup mencolok, sehingga memperlihatkan bentuk plug dan di Bukit Tungau ditempati oleh batuan sedimen lanauan gampingan dan batugamping. Sedangkan di Molobog terdapat dua bukit ditempati batuan andesit vulkanik sedikit hornblende, bagian atas ditutupi oleh batuan vulkanik muda sebagian masih segar, bersifat andesitik dan sebagian mengalami pelapukan. Demikian juga di Matabulu geologinya sama dengan di Molobog, akan tetapi singkapannya tidak begitu luas, sehingga sulit untuk dilakukan pengambilan conto batuan terubah dan termineralisasi.

Hasil analisis laboratorium kadar emas di daerah Bukit Panang dan Bukit Tungau mempunyai nilai rata-rata kandungan emas sekitar 16,5 gr/ton, sedangkan di Daerah Molobog dan sekitarnya mengandung emas rata-rata sekitar 11,0 gr/ton.

Jumlah sumber daya hipotetik emas di Bukit Panang dan Bukit Tungau Desa Kotabunan, sekitar 1,109 ton emas , sedangkan sumber daya emas aluvial sekitar 117 kg emas. Sumber daya di daerah Molobog dan Bukit Auk, Kecamatan Nuangan sekitar 693,0 kg emas, selain bahan galian emas di daerah penelitian terdapat pula bahan galian/endapan belerang dijumpai di wilayah Kawah Gunung Ambang dengan cadangan 121.456 metrik ton. Kemudian potensi panas bumi di daerah Lombongo (50º C), Binggele (81º C), Hunggayono (40º C) dan Tulabado (80º C) (Hadian dkk., 1974).

LATAR BELAKANG

Potensi bahan galian logam yang ditemukan di Indonesia, ada yang bersekala besar dan bersekala kecil. Potensi yang bersekala besar pada umumnya dikelola oleh perusahaan pertambangan, sedangkan yang bersekala kecil ditinggalkan dan tidak berlanjut ketahap penambangan. Beberapa wilayah yang ditinggalkan tersebut umumnya kemudian dikelola oleh para penambang tradisional. Sebagian diantaranya sudah terbentuk menjadi WPR (Wilayah Pertambangan Rakyat), sebagian masih berupa Penambangan Tanpa Izin (PETI).

Menurut data dan informasi di wilayah Kotabunan, terdapat beberapa lokasi penambangan rakyat secara tradisional, oleh karena itu perlu adanya suatu penelitian untuk mengetahui tentang potensi bahan galian dan berlangsungnya kegiatan penambangan.

Kegiatan usaha pertambangan rakyat tradisional/bersekala kecil, pada umumnya banyak yang tidak mengikuti kaidah penambangan secara benar dan teratur, sehingga perlu adanya bimbingan dan pengarahan dari intansi terkait, untuk memperkecil dampak negative terhadap lingkungan. Diharapkan kegiatan tersebut dapat memberikan kontribusi terhadap daerahnya, sehingga pihak pemerintah daerah memperoleh tambahan bagi pendapatan daerah dari sektor pertambangan.

Penelitian sumber daya dan cadangan bahan galian untuk pertambangan sekala kecil merupakan salah satu kegiatan yang dilaksanakan oleh Kelompok Program Penelitian Koservasi, Pusat Sumber Daya Geologi dalam rangka pelaksanaan tugas dan fungsi penelitian konservasi bahan galian di Wilayah Kotabunan, Kabupaten Bolaang Mongondow, Provinsi Sulawesi Utara.

Penelitian konservasi potensi bahan galian untuk pertambangan sekala kecil dimaksudkan untuk memperoleh data dan informasi kegiatan usaha penambangan.Data dan informasi hasil penelitiannya akan disajikan secara sistematis dalam bentuk laporan, untuk bahan masukan bagi pelaku usaha penambangan sekala kecil. Tujuannya untuk mendorong pengelolaan/pemanfaatan bahan galian bersekala kecil/marjinal agar lebih optimal, diharapkan hasil kegiatan ini dapat menjadi bahan masukan bagi penetapan kebijakan dalam usaha pertambangan sekala kecil di daerah ini.
pengaruhi oleh kondisi hukum, ekonomi, sosial budaya dan perkembangan teknologi.

Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian secara administratif termasuk ke dalam Desa Kotabunan, Desa Molobog dan Desa Nuangan di Kecamatan Kotabunan, Kabupaten Bolaang Mongondow, Provinsi Sulawesi Utara. Kotabunan sejak tahun 2008 menjadi bagian wilayah Kabupaten Bolaang Mongondow Timur dengan pusat pemerintahan di Tutuyan. Kabupaten ini dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2008, terdiri dari 4 kecamatan, Mondayag Barat, Nuangan, Tutuyan dan Kotabunan (Gambar 1).

GEOLOGI DAN PERTAMBANGAN

Geologi Daerah Penelitian
Geologi daerah Bukit Panang hingga Benteng terdiri dari batuan vulkanik bersifat andesitik, dengan mineral hornblende yang cukup mencolok sehingga memperlihatkan bentuk plug, yang sebagian tertutup oleh batuan muda bersifat laharik. Sedangkan di bagian timur berbatasan dengan Bukit Tungau dan dibatasi oleh Sungai Mati, dimana di wilayah Bukit Tungau ditempati oleh batuan sedimen lanauan gampingan, berwarna abu-abu tua kehijauan, berbutir halus terdapat urat-urat kalsit dan kuarsa, terlihat adanya garnet dan khlorit kuat sekali, sebagian kecil epidot.

Di wilayah Molobog terdapat dua bukit yang ditempati oleh batuan andesit vulkanik, dengan tidak memperlihatkan hornblende secara mencolok, bagian atas ditutupi oleh batuan vulkanik muda sebagian terlihat masih segar bersifat andesitik dan telah mengalami pelapukan lanjut. Demikian juga yang ditemukan di wilayah Matabulu keadaan geologinya sama dengan yang ditemukan di Molobog, akan tetapi di wilayah ini singkapannya tidak begitu luas, sehingga sulit untuk dilakukannya pengambilan conto untuk batuan yang terubah dan termineralisasi
(Gambar 2).

Mineralisasi di Bukit Panang-Tungau
Para penyelidik terdahulu telah melakukan penyelidikan di wilayah Bolaang Mongondow dengan bendera beberapa perusahaan asing dan swasta nasional, terutama yang bergerak di dalam pencarian mineral logam diantaranya emas, perak dan tembaga. Tropic Endeavour telah melakukan penyelidikan di wilayah ini sejak tahun 1971 hingga 1973, kemudian dilanjutkan oleh BHP Utah Pacific dan para peneliti lainnya (Lowder & Dow, 1978; Kavalieris, dkk 1992). Penelitian dilakukan untuk mendapatkan adanya tipe endapan Porfiri Emas-Tembaga, dan saat ini banyak para penambang tradisional mencari emas primer pada Formasi Bilungala. Keadaan geologi di wilayah Panang dan Tungau, di dominasi oleh andesit dan sedimen gampingan.

Lapisan batuan bagian atas dan sebagian terubah telah dibongkar oleh penambang emas sejak zaman Belanda, sehingga tersingkap secara keseluruhan berupa argillit, berwarna putih kekuningan karena mengandung banyak sulfat, alunit, sedikit ditemukan mineral logam berupa enargit, pirit, arsenopirit dan mineral sekunder malakhit.

Urat-urat kuarsa sebagian membentuk stockwork diisi hematit, pirit dan emas berbutir sangat halus, sedangkan urat kuarsa yang ditambang oleh masyarakat setempat berarah antara N 143º-150ºE/60º-65º dengan ketebalan antara 1,5 cm hingga 35 cm, dipotong oleh urat yang berarah N256º-275ºE/42º-51º dengan ketebalan antara 1 cm hingga 13 cm. Urat kuarsa yang berarah hampir utara-selatan tersebut merupakan urat generasi pertama dan menurut hasil pengamatan lapangan, memperlihatkan hasil emas yang paling banyak, sedangkan yang berarah relatif timur barat kurang menghasilkan emas yang signifikan.
Setelah dilakukannya pengamatan lapangan dengan ditemukannya mineral alunit, sulfat yang jenuh, tembaga jenis enargit, dengan ubahan argilik-argilik lanjut, maka disimpulkan bahwa tipe mineralisasi di Panang adalah tipe Epitermal sulfida tinggi.

Di Bukit Tungau secara keseluruhan pada bagian atas batuan tersebut, telah terkloritisasi dan urat-urat kalsit stockwork, sedangkan pada kedalaman 10 m dari lubang tambang telah mengalami silisifikasi, mengandung urat-urat kuarsa berarah N153ºE/48º ketebalan urat antara 3 cm hingga 15 cm. Di dalam urat kuarsa ditemukan galena, sedikit sfalerit dan terlihat adanya emas spotted bersama pirit halus.

Hasil pengamatan disekitar kegiatan penambangan dengan ditemukannya khlorit, sedikit epidot, garnet, magnetit maka disimpulkan bahwa mineralisasi di Bukit Tungau berupa tipe sedimen ekshalasi seperti yang ditemukan di Ratatotok dan Messel. Kedua lokasi tersebut hanya dipisahkan oleh sungai kecil, menurut masyarakat setempat dinamakan Sungai Mati.

Pengaruh struktur terhadap wilayah prospek di Panang dan Tungau sangat kuat sekali, dengan dicirikan adanya lokasi-lokasi batuan termilonitkan dengan ubahan illit-smektit berwarna biru mengandung pirit yang sangat banyak ditemukan pada batas antara Panang - Benteng dan Panang - Tungau. Selain itu batuan yang dilewati struktur tersebut terlihat adanya pergerakan secara mendatar dengan ditemukannya cermin sesar yang tersingkap di aliran sungai kecil, yang dianggap daerah lemah. Kontrol struktur ini telah memberi gambaran adanya suatu perubahan topografi antara Bukit Benteng, Bukit Panang dan Bukit Tungau.

Sebaran bahan galian emas di wilayah ini berupa urat-urat kuarsa berarah hampir utara-selatan, dipotong oleh urat-urat kuarsa berarah hampir timur-barat dan pada saat ini para penambang sekala kecil melakukan penambangan secara tambang dalam dengan membuat lobang-lobang tambang mengikuti arah urat yang potensial yaitu berarah utara-selatan. Pengolahan bahan galian emas tersebut dilakukan secara amalgamasi dan sebagian dari bekas kegiatan tambang lama, dilakukan secara sianidasi hal tersebut dilakukan juga terhadap endapan emas aluvial disekitar bukit tersebut.

Sebagai bahan pertimbangan bahwa kedua lokasi penambangan sekala kecil tersebut terletak disebelah timur Doup Prospek, yang sekarang menjadi wilayah KP PT Avocet, kemungkinannya wilayah penambangan rakyat ini terdapat di bagian tengah antara konsesi PT Avocet dan PT Aneka Tambang (Gambar 2).

Mineralisasi di Wilayah Molobog
Daerah Molobog secara regional ditempati oleh batuan vulkanik berupa breksi vulkanik, tufa andesitik dan jenis laharik yang menempati dibagian puncak-puncak bukit sebagai batuan berumur muda.

Di wilayah penambangan yang dilakukan oleh masyarakat setempat ditemukan adanya batuan vulkanik jenis andesitik termineralisasi, dibagian atas singkapan batuan tersebut berupa ubahan lempung – kuarsa ± khlorit, sedangkan pada kedalaman 10 meter berubah ke arah kuarsa±adularia-serisit-pirit, sebagian silisifikasi dengan kalsedonit mengandung pirit dan urat-urat kuarsa mengandung pirit, sedikit sfalerit dan galena.

Kalsedonik memperlihatkan struktur koloform dan indikasi bentuk krustifikasi dari kuarsa berbutir kasar ke arah yang halus, dengan indikasi adularia, lempung dan bentuk lembaran/bladded karbonat. Menurut Leach T. et al, 1997, lingkungan ubahan seperti di atas berkaitan erat dengan adanya pencampuran air meteorik dengan fluida hidrotermal yang kaya akan mineral-mineral vanadium dan kaya akan illit, roscoclite yang menggantikan mineral potasium serta kaya akan ilit-smektit

Munculnya markasit berwarna kehijauan, berbutir sangat halus mencerminkan adanya indikasi oksida menengah yang miskin akan pirit, sebagai indikasi pembentukan mineralisasi di permukaan dimana akan terbentuk asosiasi perak dengan emas teluride atau emas sebagai elektrum, di lapangan terlihat dari beberapa conto batuan di dalam lobang tambang dengan kedalaman 12 m.

Ditemukannya cebakan emas bonanza di atas 50 gr/ton telah memicu para penambang melakukan kegiatannya secara maksimal, disini telah terjadi pembentukan formasi bijih ketika terjadi up welling cairan fluida yang membawa mineralisasi terutama emas dan perak.

Dua buah bukit yang dianggap masyarakat setempat sebagai wilayah prospek untuk logam emas dan sedikit perak, dimana sebelumnya mereka telah melakukan penambangan dengan posisi urat kuarsa yang diambil berarah baratlaut-tenggara dan timurlaut-baratdaya.
Hasil pengamatan lapangan di wilayah ini setelah melakukan pengecekan terhadap singkapan batuan dan beberapa fragmen batuan sisa para penambang, bahwa di daerah ini telah terjadi adanya proses mineralisasi tipe epitermal sulfida rendah, seperti yang ditemukannya indikasi akan pembentukan tipe mineralisasi tersebut.

Breksi hidrotermal dengan dicirikan oleh adanya urat-urat kuarsa mengandung pirit halus, bersama kalsedon, adularia terlihat jarang dan serisit yang memperlihatkan adanya over printing mineralisasi di wilayah ini telah memberikan suatu gambaran bahwa mineralisasi logam di Molobog dapat dianggap signifikan.

Ubahan khlorit-lempung-pirit-kuarsa di bagian atas lokasi prospek telah memberikan indikasi adanya aktifitas hidrotermal berulang, sehingga kearah kedalaman ditemukan adanya ubahan serisit-adularia, dengan kandungan pirit yang sangat halus sekali, kemudian kristal kuarsa halus terdapat di dalam lobang/vughy. Kearah makin dalam dari lobang vertikal sedalam 15 m ditemukan ubahan kuarsa/kalsedon-pirit dan urat-urat kuarsa halus beberapa puluhan sentimeter, berarah baratlaut-tenggara dan timurlaut-baratdaya. Singkapan di permukaan sangat jarang sekali ditemukan adanya batuan terubah kuat, sehingga temuan ini hanya terdapat di dalam lobang yang dibuat oleh penduduk setempat.

Mineralisasi emas-perak diperoleh dari urat-urat kuarsa, sedangkan dari batuannya mereka tidak pernah mengambilnya, dikarenakan menurut mereka kurang mengandung emas. Galena dan sfalerit terlihat mengisi lobang-lobang bersama kristal kuarsa yang dianggap mereka banyak mengandung emas. Mangan berwarna hitam dan hematit berwarna merah mengisi retakan-retakan, kemungkinan mangan tersebut yaitu jenis pirolusit.

Keadaan struktur pada sistim epitermal sulfida rendah untuk kuarsa-emas-perak, pada umumnya terbentuk di busur magmatik, biasanya mencirikan zonasi penekukan secara oblique dan jelas mencerminkan tipe keadaan back arc/busur luar dari tipe adularia-serisit epitermal emas-perak, bentuk struktur tersebut berupa jogs, dilihat dari struktur yang saling berpotongan dengan ciri-ciri adanya rekahan dilasi dan fissure veins, splitting/pemisahan dari pada hanging wall. Kejadian di atas akan berlanjut secara luas berupa strike slip fault/sesar mendatar sejajar arah/jurus batuannya (Sibson, 1987). Keadaan tersebut terlihat pada lokasi tambang Molobog pada kedalaman 8 m, dimana ciri mineralnya telah memperlihatkan serisit dan sedikit adularia.

Tahap ahir dari pengendapan beberapa mineral dengan terbentuknya silika bersifat opalin berbentuk pita-pita koloform dengan emas murni yang terbentuk dan berasosiasi dengan hematit specular dan bentuk pirit yang framboidal. Kejadian tersebut di lapangan terlihat banyak mengisi rekahan dan urat-urat kuarsa tercuci secara kimiawi. Pembentukan mineral-mineral tersebut pada umumnya pada temperatur rendah (100º-150ºC). Dengan demikian kontrol struktur di wilayah ini lebih memungkinkan dengan ditemukannya banyak float batuan tergeruskan/cermin sesar, di dalam aliran sungai yang membagi dua antara bukit termineralisasi tersebut. Sebaran urat-urat kuarsa ke arah timur-barat dan jurus/kemiringan secara umum berarah utara-selatan, sedangkan urat-urat yang berarah timur-barat memotong arah urat pertama, tetapi kadar emasnya kecil sehingga mereka tidak melakukan penambangan emas kearah timur-barat.

Proses penambangan bahan galian emas di wilayah ini sama seperti yang dilakukan di wilayah Panang dan Tungau, yaitu dengan cara tambang dalam dengan membuat lobang-lobang tambang mengikuti arah urat-urat emas yang berarah utara-selatan. Sedangkan pengolahannya masih menggunakan metoda amalgamasi dan pembuangan tailing sebagian ke sungai kecil didekatnya, apabila pada musim penghujan semua sisa-sisa penambangan ini terbawa banjir hingga ke laut.

Mineralisasi di wilayah Matabulu
Wilayah Mata Bulu terletak di bagian selatan daerah peninjauan, hal ini dilakukan karena adanya informasi pada waktu lampau banyak masyarakat yang melakukan penambangan disana, dikarenakan adanya situasi yang tidak memungkinkan maka mereka meninggalkan daerah tersebut dan pindah ke Lanut.

Seperti halnya di Molobog pada daerah ini ditempati oleh batuan vulkanik andesitik, tufa dan sedikit konglomeratan/aglomeratan dari produk gunung api. Urat kuarsa ditemukan berarah utara-selatan tebalnya antara 10 cm hingga 1,5 m, tersingkap pada tebing bagian selatan di dalam ubahan terkersikan dengan sedikit lempung dan jejak galena. Urat kuarsa dengan ketebalan lebih dari 1 m yang tersingkap dipermukaan, terlihat masif, tidak mencirikan adanya pirit yang signifikan dan kalsedon tidak begitu jelas, warna dalam keadaan segar putih susu, sehingga kesimpulan hasil pengamatan lapangan jenis urat kuarsa seperti ini kemungkinannya sedikit mengandung emas. Sedangkan yang mempunyai ketebalan antara 10 cm hingga 30 cm dipermukaan terlihat mengadung pirit halus dan mineral hitam, berwarna kusam kemungkinan jenis mangan/pirolusit. Di wilayah ini apabila menghasilkan emas seperti dulu, maka menurut masyarakat setempat akan melakukan penambangan kembali, dengan menggunakan sianida secara heap-leach sehingga tidak mengganggu lingkungan di sekitarnya.

Mineralisasi pirit kurang begitu berkembang terkecuali pada lokasi yang dilalui oleh patahan lokal, dan memperlihatkan adanya saling memotong antara urat kuarsa satu dengan lainnya.

Bahan Galian Lain
Endapan belerang dijumpai di wilayah Kawah Gunung Ambang dengan cadangan 121.456 metrik ton (Hadian dkk., 1974). Kemudian potensi panas bumi di daerah Lombongo (50º C), Binggele (81º C), Hunggayono (40º C) dan Tulabado (80º C). Pada saat ini Pertamina sedang melakukan tahap penyelidikan awal untuk panas bumi di wilayah Kecamatan Mondayag dan Kotabunan.

Endapan pasir besi terdapat pada sebagian pantai yang terbentang dari arah timurlaut-baratdaya, untuk wilayah ini belum begitu serius untuk penyelidikannya, sehingga sampai saat ini Pemkab Bolaang Mongondow Timur sedang menunggu para investor tambang yang bergerak pada komoditi tersebut.

Sirtu terdapat pada aliran sungai yang besar mereka ambil pasir dan batuan andesit yang cukup prospek. Punggungan Doup prospek ditempati oleh breksi vulkanik dengan fragmen andesit berukuran bongkah hingga kerakal, yang diperlukan untuk bahan bangunan dan perbaikan jalan yang masih dalam keadaan persiapan pembangunan pemukiman kabupaten baru.

Kotabunan dengan perbatasan wilayah Buyat banyak tersingkap batugamping yang lokasinya tidak jauh dari jalan raya, menurut camat setempat telah dilakukan inventarisasi batugamping oleh salah satu perusahaan swasta nasional, untuk kepentingan pabrik semen. Akan tetapi di wilayah pantai tenggara untuk batugamping ada kemungkinan terbentuknya mineralisasi logam seperti yang ditemukan di Ratatotok.


Pertambangan
Kegiatan penambangan yang dilakukan oleh masyarakat setempat pada lokasi emas primer, yaitu dengan melakukan pembuatan lubang tambang mengikuti arah urat-urat kuarsa yang mengandung emas berkadar tinggi (10 gr/ton hingga >15 gr/ton). Lokasi daerah kegiatan merupakan daerah mineralisasi tipe epitermal dan sedimen ekshalasi. Mineralisasi emas di daerah ini sebagian berasosiasi dengan mineral logam dan pirit. Emas terbentuk di dalam batuan vulkanik andesitik terbreksikan dan sebagian tuf lapilli serta di dalam batuan sedimen gampingan.

Metoda penambangan dilakukan secara tambang dalam, dimana batuan yang mengandung emas diambil di dalam lubang tambang, kemudian ditumbuk secara manual dan dimasukan ke dalam tromol untuk dihaluskan.

Pengolahan emas dilakukan secara amalgamasi dari hasil tromol, kemudian dicampur air raksa dan selanjutnya didulang dan diproses untuk memisahkan emas dari mineral ikutannya. Setelah membentuk bullion kemudian dibakar dan dimurnikan untuk memisahkan emas dengan air raksa, emas dapat diolah dan diproduksi langsung di tempat tambang tersebut.

Pengaruh pengolahan tersebut akan mengakibatkan dampak lingkungan di sekitarnya, sehingga perlu dilakukan pembuatan kolam pemurnian dari limbah tambang. Pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh para penambang emas pada umumnya tidak dilakukannya penampungan limbah tambang secara sistematis, secara tidak langsung limbah tambang masuk ke dalam aliran sungai yang ada di wilayah tersebut.

Aktifitas penambangan emas yang perlu diperhatikan yaitu diwajibkannya membuat kolam penampung limbah untuk mengendapkan air limbah, hal itu sebagai antisipasi dampak lingkungan secara langsung terhadap ekosistem di sekitarnya. Penanganan tailing belum dilakukan secara optimal, sehingga masih terlihat kemungkinan adanya emas tertinggal, hal itu dikarenakan cara pemrosesan yang tidak sempurna seperti yang dilakukan di Daerah Kotabunan dan Molobog.

Di Kotabunan selain penambangan emas dilakukan terhadap batuan primer, juga dilakukan terhadap endapan koluvial dan aluvial sungai, material berupa kerikil, kerakal dan pasir kemudian dimasukkan ke dalam gold room, setelah itu dicampur dengan sianida, arang batok kelapa dan tepung batugamping. Pada saat ini sebagian penambang telah menyediakan alat pemrosesan emas primer dengan pencampur asam sianida.

Pengangkutan material yang akan diolah terbatas di wilayah penambangan tersebut, sehingga tidak menggunakan alat angkut yang besar mereka hanya melakukan pengangutan dengan dipikul ketempat pengolahan. Bahan galian utama disini terbatas hanya untuk logam emas, sedangkan bahan galian lain seperti halnya tembaga, seng dan timah hitam dibuang sebagai tailing.

Tempat pengolahan dibuat dari kayu, atap seng dan sebagian tembok dari batu dengan campuran pasir dan semen untuk landasan tromol, infrastruktur tersebut tidak memperlihatkan suatu bangunan permanen dan besar. Keadaan lahan yang digunakan penduduk sebagian kepunyaan penduduk setempat dan mereka bekerja dengan sistim bagi hasil, sehingga masyarakat yang bukan penambang apabila mereka punya lahan dapat menerima hasil sebagai peningkatan sosial ekonomi di wilayah tambang. Keadaan perekonomian penambang dan masyarakat sekitar terlihat cukup maju dengan dibangunnya perumahan permanen di wilayah Kotabunan dan Molobog, sehingga terlihat mencolok apabila dibandingkan dengan masyarakat yang jauh dari lokasi kegiatan tersebut. Penjualan emas hasil tambang cukup di lokasi kegiatan, hasil pemurnian emas diperoleh kadar rata-rata 90% hingga 93%, dijual langsung kepada pembeli per gramnya Rp. 230.000,- (informasi dari para penambang).

Lingkungan di sekitar Kotabunan walaupun kegiatan penambangan sudah berlangsung sejak zaman Belanda, terlihat tidak begitu mengganggu keadaan lingkungan di sekitarnya, seperti halnya terhadap kesehatan penduduk setempat, biota dan kehidupan flora serta fauna disana. Sedikit yang terlihat ada perubahan rona bumi dengan terjadinya penumpukan material di sekitar dam, apabila terjadi hujan lebat sering terjadi banjir.

Pertambangan Sekala Kecil
Pertambangan sekala kecil sampai saat ini belum didefinisikan secara resmi oleh Pemerintah. Dalam UU Pertambangan Mineral dan Batubara No 4 Tahun 2009, terdapat pengertian yang menyatakan tentang pertambangan rakyat yang terdapat pada pasal 20 dan 26, yakni kegiatan pertambangan rakyat dilaksanakan dalam suatu Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR).

Sedangkan pertambangan rakyat berdasarkan UU No. 4 Tahun 2009 tertera dalam pasal 20, yakni bahwa pertambangan rakyat bertujuan memberikan kesempatan kepada rakyat setempat dalam mengusahakan bahan galian untuk turut serta membangun negara di bidang pertambangan dengan bimbingan pemerintah dan dilakukan oleh rakyat setempat yang memegang IPR (Izin Pertambangan Rakyat). Selanjutnya izin pertambangan rakyat diatur dalam pasal 21, WPR sebagaimana dalam pasal 20 ditetapkan oleh bupati/walikota setelah konsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota.

Dalam pasal 26 ketentuan mengenai kriteria dan mekanisme diatur dengan peraturan daerah kabupaten/kota. Adanya perkembangan teknologi dalam bidang pertambangan, perubahan kewenangan di sektor pertambangan, peningkatan sektor ekonomi, isu lingkungan dan kondisi sosial yang berkembang di masyarakat, diharapkan dapat lebih meningkatkan. kegiatan pertambangan rakyat. Berdasarkan kajian yang membahas tentang pertambangan sekala kecil telah dilakukan, pada tahun 1996 Lembaga Demografi Universitas Indonesia (LD-UI) melakukan kajian dengan fokus pembahasan pengaruh kegiatan pertambangan sekala kecil terhadap perkembangan makro ekonomi regional. Dalam kajian tersebut kegiatan pertambangan tanpa izin (PETI) juga dikategorikan ke dalam pertambangan rakyat/ sekala kecil

PEMBAHASAN

Sistim Penambangan
Konservasi bahan galian tujuannya adalah untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya mineral, sehingga seluruh potensi yang ada dapat diusahakan secara efektif dan efisien. Dan untuk mencegah terjadinya pemborosan bahan galian, yang disebabkan oleh ketidak optimalan dalam penambangan dan pemrosesan. Pemilihan suatu sistem penambangan sangat dipengaruhi oleh karakteristik endapan, keadaan lingkungan, keselamatan kerja dan kesiapan pendanaan.

Penambangan dengan cara tambang dalam, pada umumnya digunakan untuk bahan galian yang keberadaannya terletak jauh di bawah permukaan dan bahan galian tersebut harus memiliki kadar atau kualitas yang tinggi. Kadar atau kualitas yang tinggi diperlukan karena sistem tambang dalam, memerlukan investasi dan teknologi yang tinggi, selain itu bahan galian yang diusahakan harus memiliki nilai ekonomis yang tinggi atau bersifat strategis.

Di wilayah Kotabunan banyak memperlihatkan adanya tipe mineralisasi epitermal, tetapi tidak semua lokasi mineralisasi tersebut dapat dikatakan prospek. Daerah mineralisasi di Kotabunan umumnya berasosiasi dengan peristiwa hidrotermal yang terbentuk bersamaan dengan pirit. Emas dijumpai berasosiasi dengan batuan andesit vulkanik yang mengalami ubahan dan mineralisasi bertemperatur rendah, urat-urat halus termineralisasi emas-enargit-kuarsa-pirit, sedangkan mineralisasi emas di Molobog dan Matabulu umumnya berasosiasi dengan zonasi kuarsa-serisit-klorit-pirit dan dikontrol oleh patahan. Mineralisasi terbentuk secara tidak beraturan dan bersifat setempat tidak menerus yang terbentuk di dalam batuan andesit vulkanik.

Apabila kedua daerah tersebut akan diusahakan, dengan karakteristik endapan serta kadar emas yang dimilikinya, maka penambangan yang layak untuk daerah prospek tersebut adalah sistem tambang dalam dengan batas kedalaman tertentu.

Sistim Pengolahan
Pengolahan emas primer di wilayah Kotabunan (Panang dan Tungau) dilakukan dengan cara tromol dan sianida, semua bahan sebelum diolah untuk pemrosesan terlebih dahulu ditumbuk hingga halus, dengan harapan tidak begitu banyak emas yang terbuang. Sedangkan pengolahan emas koluvial dan aluvial sebagian ditumbuk untuk jenis kerikil dan kerakal sisa penambangan sejak Zaman Belanda, sedangkan endapan aluvial langsung diproses dimana keduanya diolah dengan menggunakan gold room yang dicampur dengan sianida, arang batok kelapa dan gamping.

Sedangkan pengolahan yang dilakukan penambang di Molobog, semuanya masih menggunakan tromol dan air raksa, terdapat 6 lokasi kegiatan tambang dalam yang melanjutkan penambangan lama yang ditinggalkan.

Pengolahan emas dari sejak Zaman Belanda di Indonesia, untuk emas primer yaitu dengan menggunakan tromol kemudian dibakar ditempat pengolahan hingga menjadi emas murni yang terpisah dari unsur logam lainnya. Untuk bijih emas primer, proses pengolahan pada umumnya memerlukan peremukan dan penggerusan terlebih dahulu, dan biasanya ukuran emas sangat kecil dan bukan merupakan emas bebas.

Tahapan penting yang sering diabaikan oleh hampir seluruh pertambangan skala kecil adalah metode konsentrasi gravitasi. Pada umumnya, pengolahan emas secara amalgamasi maupun sianidasi melakukan ekstraksi langsung terhadap keseluruhan umpan bijih, sehingga reagen kimia yang dibutuhkan cukup besar dan pembuangannya menyulitkan. Oleh karena itu, setelah tahap kominusi seharusnya dilakukan proses konsentrasi gravitasi untuk mendapatkan konsentrat dan langsung dilakukan proses peleburan atau jika kadarnya terlalu kecil dilanjutkan dengan proses sianidasi (Imelda, 2004).

Proses sianidasi maupun proses amalgamasi keduanya merupakan proses yang menggunakan bahan kimia berbahaya dan beracun. Dibandingkan dengan limbah merkuri, limbah sianida masih dapat dikelola secara alami maupun dengan penambahan zat aditif sehingga tidak menimbulkan dampak yang serius, sementara merkuri merupakan bahan berbahaya dan beracun yang tidak dapat diuraikan secara alami maupun dengan penambahan zat aditif. Dalam pengoperasiannya, diperlukan peralatan keselamatan kerja terutama yang bersifat manual (kontak langsung dengan tangan) serta alat bantu pernafasan untuk mencegah terhirupnya uap sianida yang mematikan (Imelda, 2004).

Sumber Daya/Cadangan Bahan Galian
Perhitungan sumber daya/cadangan dilakukan di dua lokasi penambangan yaitu di wilayah Kotabunan/Panang, Tungau dan Molobog, kedua lokasi tersebut terdapat beberapa penambang aktif sehingga dapat memudahkan untuk mengecek beberapa singkapan berupa urat kuarsa dan urat-urat kuarsa yang tidak beraturan.

Sedangkan di wilayah Nuangan / Matabulu Belum dilakukan penambangan, akan tetapi terdapat ciri-ciri adanya urat kuarsa setebal 10 cm hingga 50 cm yang tersingkap. Kearah selatan mereka tidak begitu banyak yang melakukan penambangan, dikarenakan dekat wilayah Lanut yang lebih potensial.

Penambangan Sekala Kecil di Bukit Panang dan Tungau
Penambangan emas di wilayah ini telah lama dilakukan sehingga Bukit Panang, telah terbuka secara keseluruhan, terkecuali daerah Benteng yang terletak di sebelah utaranya. Beberapa tahun yang lalu masih banyak yang melakukan penambangan di lokasi Benteng, akan tetapi pada saat ini masyarakat penambang terkonsentrasi di wilayah Panang dan sebagian di Tungau.

Hasil tambang di wilayah ini diolah secara amalgamasi dan sebagian kecil secara sianidasi, sedangkan di wilayah Benteng mulai dibangun gold room dan infrastruktur untuk pengolahan secara sianidasi.

Potensi emas yang terbentuk di Panang secara keseluruhan diambil dari urat-urat kuarsa yang berarah hampir utara-selatan dan dapat dikatakan urat yang paling tua secara genesa dengan ketebalan bervariasi seperti layaknya urat-urat kuarsa tipe epitermal dan di dalam lobang tambang yang masih aktif diperoleh data ketebalan antara 10 cm hingga 150 cm, sedangkan menurut para penambang semakin ke dalam ketebalan urat kuarsa semakin lebar, di lapangan urat-urat tersebut memperlihatkan kerapatan antara 3 hingga 5/m sampai dengan stockwork, dipotong oleh urat-urat yang ber arah hampir timur-barat. Sedangkan pada kedalaman 40m keadaan urat lebih tidak beraturan hingga stockwork, dan kadar emasnya lebih tinggi dibandingkan dengan dipermukaan. Saat ini penambangan hanya dilakukan sampai kedalaman 20 m, karena ke arah bawah semua lobang bekas Belanda telah terendam air.

Hasil penelitian lapangan terhadap keberadaan urat-urat kuarsa di wilayah Bukit Panang, dengan ditandai adanya lobang-lobang tambang hampir ber arah utara-selatan, dengan ketebalan bervariasi, dimana pada tipe epitermal urat kuarsa secara keseluruhan dapat disimpulkan berdasarkan kerapatan dan total ketebalannya.

Secara hipotetik dapat disimpulkan bahwa sumber daya emas di Bukit Panang dan Bukit Tungau, dengan ketebalan 16 m, hasil analisis laboratorium rata-rata kandungan emas 16,5 gr/ton, panjang arah urat utara-selatan 200 m, kedalaman maksimum yang dapat ditambang hingga 30 m, dasar penghitungan sumber daya emas hipotetik sekitar 70 % maka hasilnya adalah; 16m x 200m x 30 m x 16,5gr/t = 1.584.000 gr/1,584 ton x 70% = 1,109 ton.

Lokasi penambangan emas koluvial (sisa-sisa penambangan lama berupa kerikil dan kerakal dari Zaman Belanda) dan aluvial sungai berupa endapan pasir dan kerikil di wilayah sekitar Panang dan Tungau, volumenya = 300 m x 150 m x 1,3 m = 58.500 m³. Sedangkan perhitungan 1 m³ = 2 gr, hasil yang sering diperoleh penduduk dalam 1 karung rata-rata menghasilkan emas sebanyak 3 gr, sehingga sumber daya emas secara hipotetik diperoleh angka 58.500 m³ x 2 gr = 117.000 gr = 117 kg.

Penambangan Sekala Kecil di Molobog
Pada waktu yang lalu di Molobog merupakan lokasi tambang sekala kecil yang cukup banyak, terdiri dari beberapa puluh grup tambang yang datang dari Menado, Kalimantan dan Tasikmalaya. Ketika perusahaan asing melakukan eksplorasi di wilayah ini, telah terjadi bentrokan dengan para penambang, dan sebagian besar mereka diusir dengan menggunakan aparat kepolisian. Sejumlah bekas lobang tambang lama terdapat diseputar bukit, dengan masing-masing kedalaman mencapai 20m dan urat kuarsa banyak ditemukan serta mengandung emas berkadar tinggi.


Pada saat ini telah mulai ada beberapa penambang yang melakukan kegiatan di wilayah ini, sebagian besar masih menggunakan metoda amalgamasi dan ada beberapa orang yang meninjau kesana untuk dilakukannya pengolahan secara sianidasi.

Potensi emas di wilayah ini sebetulnya terdapat di dalam batuan itu sendiri berupa diseminasi pirit yang mengandung emas dan di dalam urat kuarsa. Sedangkan perhitungan sumber daya hipotetiknya hanya dihitung terhadap emas yang terdapat di dalam urat kuarsa yang berarah hampir utara-selatan, dengan ketebalan antara 15 cm hingga 30 cm di bagian atas dari hasil penambangan dan pada kedalaman dibawah 20 m hingga mencapai ketebalan 100 cm dengan kerapatan urat antara 2 hingga 4/m, maka sumber daya cadangan di wilayah ini dapat dihitung secara hipotetik yaitu dengan total ketebalan 10 m, panjang sebaran 150 m, maksimum kedalaman yang dapat ditambang 30 m, rata-rata kadar emas 11,0 gr/ton, secara hipotetik kandungan emas disini sebanyak 10 m x 150 m x 30 m x 11,0 gr/ton x 70% = 346,5 kg, terdapat di Bukit Molobog dan Bukit Auk, maka secara keseluruhan jumlahnya sebanyak 2 x 346,5 kg = 693,00 kg. Perhitungan tersebut ditunjang oleh hasil analisis untuk emas di Laboratorium Pusat Sumber Daya Geologi Bandung.

Lokasi Rencana Penambangan Rakyat di Matabulu
Matabulu termasuk ke dalam wilayah Nuangan lokasinya sekitar di bagian selatan Kotabunan, kemungkinan Nuangan akan menjadi wilayah pemekaran menjadi kecamatan menurut sekda Kabupaten Bolaang Mongondow Timur. Singkapan batuan vulkanik mengandung urat kuarsa setebal 20 cm hingga 50 cm, ber arah hampir utara-selatan dengan kerapatan urat 2/m, telah diambil contonya untuk dilakukan analisis kimia batuan. Lokasi ini diminta oleh pemerintah daerah untuk ditinjau karena pada waktu yang lalu pernah masyarakat di sekitarnya, melakukan penambangan emas dan mereka sekarang lari ke Lanut.

Sebaran batuan termineralisasi cukup luas sehingga memungkinkan adanya potensi emas, apabila hasil analisis kimia batuan memperlihatkan kadar emas yang signifikan.

Aspek Lingkungan
Penambangan sekala kecil pada umumnya tidak melaksanakan penanganan limbah tambang secara benar, sehingga sering menjadikan pencemaran terhadap lingkungan di sekitarnya, hal tersebut terjadi di seluruh lokasi tambang tradisional yang ada di Indonesia. Di Kotabunan lokasi tambang Bukit Panang diapit oleh dua anak sungai kecil yang keduanya memperlihatkan warna keruh terutama pada musim penghujan. Ada juga beberapa lokasi pengolahan hasil tambang membuat kolam untuk limbah tetapi kalau musim penghujan airnya melimpah ke sekitar lokasi tambang hingga ke sungai kecil tersebut.

Pemerintah daerah telah membuat dermaga penahan lumpur untuk mencapai ke laut, akan tetapi kurang berfungsi dikarenakan luapan lumpur lebih banyak sehingga pada musim penghujan pada puncaknya telah menjadikan wilayah banjir bagi Kotabunan. Sehingga pemerintah daerah menghimbau kepada masyarakat penambang untuk mengubah pola pengolahan dari amalgamasi ke sianidasi.

Rencana tersebut diharapkan dapat terwujud pada tahun 2010 mendatang, pemerintah daerah telah memberikan bimbingan dan pengawasan untuk masalah lingkungan di Kotabunan, terutama untuk tambang di Panang dan Molobog.

Penanganan limbah tambang sebagian telah dilakukan untuk pemanfaatan sisa pengolahan dan diolah kembali secara sianidasi, pengolahan sianidasi di Kotabunan ada 2 tempat dan 1 tempat langsung untuk mengolah hasil tambang dan masih dalam penyelesaian.

KESIMPULAN

Tipe mineralisasi sulfida tinggi di Panang, dicirikan dengan adanya alunit, argillik-argillik lanjut dengan kandungan sulfat tinggi, sedangkan di Molobog dan Matabulu, ditemukannya, kuarsa jenis kalsedon, adularia, serisit dan illit sebagai indikasi sulfida rendah dan di Tungau ditemukannya mineralisasi tipe sedimen ekshalasi di dalam batuan sedimen lanauan gampingan. Mineralisasi ditemukan berupa emas, tembaga, galena dan sfalerit serta pirit halus hingga kasar, sebagian kecil markasit dan arsenopirit.

Kegiatan penambangan yang dilakukan oleh masyarakat setempat pada lokasi emas primer, yaitu dengan melakukan pembuatan lubang tambang mengikuti arah urat-urat kuarsa yang mengandung emas berkadar tinggi (10 gr/ton hingga >15 gr/ton). Lokasi daerah kegiatan merupakan daerah mineralisasi tipe epitermal dan sedimen ekshalasi. Dimana mineralisasi emas di daerah ini sebagian berasosiasi dengan mineral logam dan pirit. Emas terbentuk didalam batuan vulkanik andesitik terbreksikan dan sebagian tuf lapilli serta di dalam batuan sedimen gampingan.

Metoda penambangan dilakukan secara tambang dalam, dimana batuan yang mengandung emas digali di dalam lubang tambang, kemudian ditumbuk secara manual dan dimasukkan ke dalam tromol untuk dihaluskan.

Pengolahan emas dilakukan secara amalgamasi dari hasil tromol tersebut, kemudian dicampur air raksa dan selanjutnya didulang dan diproses untuk memisahkan emas dari mineral ikutannya. Setelah membentuk bullion kemudian dibakar dan dimurnikan untuk memisahkan emas dengan air raksa, emas dapat diolah dan diproduksi langsung ditempat tambang tersebut. Pada saat penelitian, masyarakat setempat sudah mulai melakukan pemrosesan emas secara sianidasi, untuk emas primer dan emas alluvial tujuannya untuk memproses ulang emas yang tertinggal, bekas pengolahan emas secara amalgamasi.

Sumber daya hipotetik di wilayah Bukit Panang dan Tungau jumlahnya, 1,109 ton emas, sedangkan di Molobog jumlahnya sekitar 693,00 kg, sumber daya tersebut dikategorikan relatif kecil. Lokasi penambangan emas koluvial (sisa-sisa penambangan lama berupa kerikil dan kerakal dari Zaman Belanda) dan aluvial sungai berupa endapan pasir dan kerikil di wilayah sekitar Panang dan Tungau, volumenya = 300 m x 150 m x 1,3m = 58.500 m³. Sedangkan untuk perhitungan kadar rata-rata 2 gr/m³, sehingga sumber daya emas secara hipotetik diperoleh angka 58.500 m³ x 2 gr = 117.000 gr = 117 kg.

Terlepas dari status Tata Guna Lahan, daerah Panang-Tungau dan Molobog memenuhi syarat sebagai daerah pertambangan sekala kecil.

SARAN

Bukit Panang merupakan wilayah penambangan rakyat secara turun temurun sejak Zaman Belanda, lokasi tersebut sudah tidak memperlihatkan lagi morfologi seutuhnya, sehingga puncak bukit tersebut merupakan lapisan batuan teralterasi kuat dan mudah runtuh. Keadaan tersebut akan mempercepat proses pelongsoran, dengan demikian diharapkan pemerintah setempat untuk memberikan pengarahan, supaya lobang-lobang tambang di Bukit Panang diberi dinding kayu yang kuat untuk penahan runtuhan batuan.

Di Molobog perlu dilakukannya pengaturan lokasi tambang, karena sering terjadi perselisihan diantara grup penambang. Posisi dan jarak lobang tambang yang saling berdekatan, pada jarak tertentu akan saling berpotongan. Apabila pada lokasi perpotongan tersebut terjadi pengayaan emas, maka mereka saling berebut untuk masuk lobang dan hal tersebut sangat membahayakan para penambang itu sendiri.